Ibnu Utsaimin mengatakan, “Menjadi kewajiban umumnya PNS untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya dan tidak meminta dan menuntut pemerintah untuk memberikan kepadanya apa yang tidak menjadi haknya. Jika mereka menuntut sesuatu yang tidak menjadi haknya maka pada dirinya sifat orang munafik yang Allah firmankan,
وَمِنْهُمْ مَنْ يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُوا مِنْهَا رَضُوا وَإِنْ لَمْ يُعْطَوْا مِنْهَا إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ (٥5٨8
Yang artinya, “Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) harta zakat. Jika mereka diberi sebagian darinya, mereka bersenang hati namun jika mereka tidak diberi sebagian darinya, dengan serta merta mereka menjadi marah” (Q.s. At-Taubah: 58)
Di antara contohnya adalah PNS yang meminta dana perjalanan dinas padahal dia cuma duduk santai di rumah. Haram atas PNS tersebut melakukan tindakan semacam itu dan haram atas kepala kantor untuk memberikan permintaan PNS tersebut.
Saya mendapatkan informasi adanya kepala kantor yang memprogramkan perjalanan dinas untuk urusan yang sebenarnya tidak perlu mengadakan perjalanan dinas. Ada juga kepala kantor yang membuat surat keterangan adanya PNS yang mengadakan perjalanan dinas padahal orang yang bersangkutan duduk santai di rumah.
Tidaklah diragukan bahwa tindakan tersebut adalah perbuatan haram atas kepala kantor dan haram atas penerima dana perjalanan dinas fiktif. Tindakan ini terhitung perbuatan khianat terhadap negara dan kezaliman terhadap penerima dana perjalanan dinas fiktif.
Oleh karena sebagian PNS yang hati-hati dengan uang haram bertanya mengenai problem ini dengan mengatakan, “Kami tercatat melakukan perjalanan dinas padahal kami sama sekali tidak melakukan perjalanan dinas atau terkadang kami tercatat melakukan perjalanan dinas selama dua puluh hari padahal realnya cuma lima hari saja. Apa hukum hal ini?”
Jawaban kami, “Ini adalah perbuatan haram. Haram atas kalian mengambil sesuatu yang tidak menjadi hak kalian. Haram atas kepala kantor yang mencatat bahwa kalian melakukan perjalanan dinas atau memberi uang perjalanan dinas padahal kalian tidak pergi ke mana-mana. Hal itu haram dilakukan. Dengan perbuatan tersebut, mereka pada hakikatnya telah khianat terhadap amanah pekerjaan yang dibebankan kepadanya”.
Syaikh Ibnu Utsaimin pernah mendapatkan pertanyaan mengenai PNS yang mendapatkan tugas untuk melakukan perjalanan dinas selama dua puluh hari namun dia bisa melaksanakan tugasnya selama lima hari. Halalkan uang perjalanan dinas lima belas hari sisanya bagi dirinya?
Jawaban beliau, “Hukum uang perjalanan dinas untuk sisa harinya perlu dirinci:
Jika memang tugas tersebut jika dikerjakan secara normal memerlukan waktu pelaksanaan selama kurang lebih dua puluh hari (namun karena kerja over dosis [ngoyo-jawa] maka tugas sudah selesai dalam jangka waktu lima hari, pent) maka uang perjalanan hari sisanya adalah halal baginya.
Akan tetapi jika sudah menjadi rahasia umum bahwa meski dijalani dengan santai tugas tersebut pasti sudah selesai sebelum sepuluh hari misalnya maka uang perjalanan dinas untuk sisa hari yang seharusnya adalah uang yang haram”.
Kemudian Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya mengenai apakah uang perjalanan dinas yang tidak halal tadi apa perlu dikembalikan ke kas negara ataukah tidak.
Berikut ini jawaban beliau, “Jika memungkinkan untuk dikembalikan ke kas negara dalam rangka membuktikan kepada pihak atasan bahwa orang yang memberinya uang tersebut adalah orang yang amanah maka ini adalah tindakan yang baik. Namun aku khawatir uang tersebut tidak bisa dikembalikan. Jika tidak mungkin untuk dikembalikan maka uang tersebut bisa disalurkan untuk kepentingan umum, disedekahkan kepada fakir miskin atau semisalnya.” (Ta’liq ‘Ala Siyasah Syar’iyyah karya Ibnu Utsaimin hal 91-93 terbitan Madarul Wathan Riyadh cet pertama 1427 H.).
Artikel www.PengusahaMuslim.com